Beranda

[Kliping : Nobel Kini Tak Kredibel

Tinggalkan komentar

nobel-tak-lagi-1

nobel-tak-lagi-2Sumber : Kompas, Sabtu 05 November 2016

Untuk membaca secara jelas, silahkan ‘klik’ di masing-masing gambar.

@htanzil

[Berita] Hak Terjemahan Novel ‘Gadis Kretek’ Dibeli Penerbit Inggris

2 Komentar

Kamis, 20 Okt 2016 14:17 WIB  ·   Andi Saputra – detikHOT

Frankfurt – Meja dan kursi berderet di lorong stand Indonesia di Frankfurt Book Fair (FBF) 2016. Di meja itu transaksi dagang antarpenerbit dari antarnegara dilakukan. Meja itu juga menjadi jendela bagi Indonesia untuk memasuki panggung dunia.

Salah satu karya dari Indonesia yang terjual hak ciptanya adalah novel ‘Gadis Kretek’.

“Translation rights novel “Gadis Kretek” karya Ratih Kumala resmi dibeli MonsoonBooks UK,” kata Ketua Koordinator International Fair Komisi Buku Nasional (KBN) Sari Meutia di lokasi pameran, Kamis (20/10/2016).

gadis-kretek‘Gadis Kretek’ berkisah tentang perusahaan pabrik kretek Djagad Raja di tahun 1960-an. Kisah dimulai saat pemilik perusahaan, Soeraja sedang sekarat. Dalam menanti ajalnya, ia mengigaukan sebuah nama wanita “Jeng Yah”. Nama itu mengagetkan seluruh keluarga karena nama wanita yang seharusnya tak lagi boleh diucapkan dari mulut Soeraja karena ia telah memiliki 3 anak dewasa. Nama itu membuat satu kaluarga mencari guna menyelamatkan perusahaan rokok terbesar di Indonesia kala itu.

Novel ‘Gadis Kretek’ diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Selain Gramedia, penerbit lain yang terlibat trasaksi adalah Kanisius. Penerbit yang berkantor di Yogyakarta ini menyatakan, sejumlah buku anak dan novel dilirik calon mitranya dari Tiongkok dan Malaysia. Du Yun, dari China San Xi Normal University, menyatakan tertarik untuk buku pendidikan karakter yang berbahasa Inggris. Alasan mereka, sejumlah nilai dan konteks yang tertuang dalam buku terbitan Kanisius relevan dengan budaya di negara-negara sesama Asia.

“Kali ini, kami bawa 80 judul dengan 15 di antaranya berseri. Jumlah ini separuh lebih kecil dari tahun lalu ketika kami ikut merayakan Indonesia sebagai tamu kehormatan,” kata Kepala Departemen Pendidikan PT Kanisius, Rosalia Emmy Lestari.

Pertemuan antarpenerbit juga melibatkan sejumlah agen. Hal ini terlihat melalui pembicaraan antara Direktur Borobudur Agency Nung Atasana dengan mitranya, Izai Amorim dari Munich, Jerman.

“Tugas kami memediasi penerbit lintas negara untuk menjual hak cipta mengenai topik-topik yang aktual dan digemari pembaca,” ujar Izai yang dibenarkan oleh Nung.

Selain dari Indonesia, ribuan penerbit tumpah ruah di areal FBF seluas 37 hektare. Tidak hanya penerbit, industri yang terkait dengan penerbitan seperti percetakan dan teknologi e-book juga hadir. Layaklah bila FBF menjadi pameran dagang terbesar di dunia untuk industri penerbitan dan telah digelar berabad-abad lamanya.

Sumber : Hot Detik.com

Review Novel Gadis Kretek bisa dibaca di sini

@htanzil

[News] Second-hand bookshops dying out

Tinggalkan komentar

second-hand-lawang-jakposBandung | Mon, October 17 2016 | 10:03 am

Arya Dipa, The Jakarta Post

The last day: Lawang Buku owner Deni Rahman (right) has decided to close down his bookshop at Balubur Town Square due to the declining number of sales. He plans to continue selling second-hand books online.

During the good old days, second-hand books enjoyed a place in the heart of many bookworms. Today, alternative bookshops in Bandung are struggling to survive.

People crowded around the Lawang Buku stall on the upper floor of Balubur Town Square (Baltos) shopping center in Bandung, West Java, searching for specific titles or just browsing the books on display. Among the visitors, those carrying back bags struggled to fit themselves into the tight space.

In October 2015, owner of Lawang Buku Deni Rahman rented a 6-square meter space for the stall at the shopping center, which is located near college student housing. For the previous three years the stall only occupied a space beneath an escalator.

“This is now the busiest time,” Deni said as he served his customers and visitors.

Ironically, though, as the shop offering various second-hand books teemed with visitors, its days at Baltos were numbered. Deni signaled this by putting up a notice, “Half-price books for sale, Oct. 3 to 4, 2016”. A white poster also offered 450 books in 400 titles of various categories, for a total cost of Rp 15 million (US$1,150).

“The public’s purchasing power has declined in the last two years, so I’ll go back to online and exhibition sales. Now it’s important to recover my capital to buy more old books so that the business can keep running,” Deni said about his decision to sell off the books at half price.

Andrias Arifin, 36, Deni’s customer and peer, described the closing down of the book stall as a great loss.

“This place has become a gathering spot for second-hand book lovers because such a shop is very rarely found,” he said.

Clear-out: Hundreds of books are sold for a fixed price as stated in the announcement at Lawang Buku bookshop.

A library and second-hand book shop, Reading Lights, located in Bandung’s Gandok zone, has also shut its doors. Here too the shop management hung out a banner offering discounts for its book collections before the closure of the business.

Lawang Buku and Reading Lights added color to the city’s book scene despite their different styles and book genres. The two old bookshops provided alternative sources of literature to classic book enthusiasts.

Similarly, Omuniuum, Tobucil and Kineruku bookshops don’t just sell books like most traders do at the Palasari book center. Tobucil manager Elin Purwanti said her book sales could no longer support or cover operational costs.

“We rely on vintage books as people are seeking collectibles,” said the 36-year-old woman.

Other bookshop owners have tried to get creative to maintain their book businesses. Tobucil founder Tarlen Handayani, for example, has decided to cater to various craft and hobby needs by providing yarns, knitting needles and different materials to cover her shop’s operational costs.

“We also survive by running handicraft classes with the support of local communities,” Tarlen said.

The decreasing number of alternative bookshops in Bandung has reached a critical point. Tarlen said her community planned to gather for a discussion on the decline of Bandung’s decades-long book scene, with the aim of searching for a solution and learning to survive.

— Photos by JP/Arya Dipa

sumber : The Jakarta Post

@htanzil

Daftar Toko Buku di Bandung thn 1984

Tinggalkan komentar

Berikut daftar toko buku yang ada di Bandung pada tahun 1984

toko-buku-bandung-1984

Sumber : Daftar Buku 1984, IKAPI

@htanzil

Nobel Sastra 2016 diberikan kepada Bob Dylan

Tinggalkan komentar

nobel-sastra-2016

The Royal Swedish Academy of Sciences memutuskan memberikan Hadiah Nobel Sastra 2016 kepada musisi Bob Dylan yang dinilai “menciptakan ekspresi puitis baru dalam tradisi lagu Amerika.”
Dia merupakan penyanyi dan penulis lagu pertama yang mendapatkan penghargaan tersebut.

Pemilihan ini mengejutkan karena karyanya tak cocok dengan kanon sastra pada umumnya, seperti novel, puisi, dan cerita pendek. Dylan adalah penulis lagu dan lagu-lagunya memang berpengaruh dan terus bergema sampai kini. Apakah ini bentuk pengakuan bahwa lagu adalah juga karya sastra? Barangkali. Dunia sastra silahkan mendiskusikan hal ini.

Nama Bob Dylan sudah disebut-sebut sebagai calon pemenang Hadiah Nobel dalam beberapa tahun terakhir. Namun hal itu tidak pernah dianggap serius.

Sara Danius, Sekretaris Akademi Swedia, mengatakan Dylan dipilih sebagai pemenang atas karyanya sebagai penyair besar dalam tradisi lagu berbahasa Inggris. Lagu yang membawa Dylan meraih Nobel Sastra 2016 adalah Blowin in The Wind dan The Times They are a Changin

Dengan mendapatkan Hadiah Nobel Sastra, Dylan berhak atas uang sebesar 8 juta kronor atau sekitar Rp 11 miliar.

Hadiah Nobel Sastra itu merupakan penghargaan kesekian kali bagi pria yang dilahirkan dengan nama Robert Allen Zimmerman tersebut.

Bob Dylan lahir pada 24 Mei 1941 di Duluth, Minnesota. Musisi yang tumbuh dalam keluarga kelas menengah Yahudi itu semasa remaja bermain dalam beragam band dan punya ketertarikan khusus pada musik folk Amerika dan blues, menurut catatan Biobibliografi di laman resmi Nobel.

Dylan, yang antara lain mengidolakan penyanyi folk Woody Guthrie, pindah ke New York tahun 1961 dan mulai tampil di klub-klub dan kafe di Greenwich Village.

Setahun kemudian, ia bertemu produser rekaman John Hammond dan menandatangani kontrak album perdana Bob Dylan (1962).

Tahun-tahun selanjutnya dia merekam sejumlah album dan membawa pengaruh besar pada musik populer dengan album seperti “Bringing It All Back Home and Highway 61 Revisited” tahun 1965, “Blonde On Blonde” tahun 1966 dan “Blood On The Tracks” tahun 1975.

Produktivitasnya berlanjut hingga puluhan tahun kemudian, menghasilkan mahakarya seperti “Oh Mercy” (1989), “Time Out Of Mind” (1997) dan “Modern Times” (2006).

bob-foto

Dylan menggelar tur tahun 1965 dan mendapat banyak perhatian tahun 1966. Selama satu periode dia ditemani pembuat film D. A. Pennebaker, yang mendokumentasikan hidupnya di panggung yang kemudian menjadi film “Don’t Look Back” (1967).

Dylan telah merekam banyak album dengan tema seputar kondisi sosial, agama, politik dan cinta. Liriknya masih terus diterbitkan dalam edisi-edisi baru berjudul “Lyrics”.

Sebagai seorang artis, kemultitalentaannya menonjol. Dia aktif sebagai pelukis, aktor dan penulis naskah.

Selain menghasilkan banyak album, Dylan menerbitkan karya eksperimental seperti “Tarantula” (1971) dan koleksi “Writings and Drawings” (1973).

Dia menulis otobiografi Chronicles (2004), yang menggambarkan memori dari tahun-tahun awal di New York dan memberikan kilasan hidupnya di tengah budaya populer.

Sejak akhir 1980an, Bob Dylan terus melakukan tur, yang kemudian disebut “Never-Ending Tour” (Tur Tanpa Akhir).

Dylan mendapat status ikon. Pengaruhnya pada musik kontemporer mendalam, dan dia adalah objek dari aliran literatur sekunder.

bob-foto-jpg-2

####

Dikutip dari : Antaranews.com, Kompas.com, Tempo.co

@htanzil

[Berita] Menteri Anies: Minat Baca Rendah kok Malah Ada Pelarangan Buku? Itu Kuno!

Tinggalkan komentar

aniesJakarta – Pekan lalu muncul kabar razia terhadap buku bertema komunisme. Pelarangan atas peredaran buku dengan tema tertentu adalah hal yang miris ketika disandingkan degan minat baca masyarakat Indonesia yang masih rendah.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengatakan tindakan razia tersebut sebagai perilaku yang tidak relevan dengan kondisi kekinian. Sebab sebetulnya ide komunisme sendiri sudah ditinggalkan oleh masyarakat dunia.

“Membakar, melarang buku itu kuno. Hari ini ide itu sudah ketinggalan. Kita jangan kemudian jadi lengah. Tapi tunjukkan ide yang lebih baik, tunjukkan gagasan yang lebih maju,” ujar Mendikbud Anies di acara Pesta Pendidikan di fx Sudirman, Jakarta Selatan, Minggu (39/5/2016).

Anies menambahkan, tindakan pelarangan buku komunisme adalah sebuah ekspresi minder. Ia mengajak masyarakat Indonesia untuk menunjukkan bahwa Pancasila adalah rumusan dan ideologi yang paling tepat untuk bangsa ini.

Di acara yang sama, Najwa Shihab juga ikut berpendapat tentang pelarangan buku tersebut. Menurutnya, jika minat baca masyarakat Indonesia masih rendah, seharusnya tidak perlu ada pelarangan buku.

“Saya kok miris ya. Orang kok lagi kurang baca, kok malah dilarang baca. Pelarangan baca adalah kemubaziran akut. Membatasi informasi adalah kesia-siaan,” ujar Najwa.

Najwa menyadari bahwa komunisme adalah isu sejarah yang sangat sensitif sehingga menimbulkan reaksi beragam di masyarakat. Namun, menurutnya, pelarangan buku, apa pun tema di dalamnya, sama saja melarang pikiran.

“Percuma melarang buku, karena orang masih dapat menemukan di mana-mana. Saat ini, kita ketinggalan dengan negara lain dalam hal minat baca. Jika orang Jepang dalam setahun dapat menghabiskan 25 buku, Singapura 15 buku, Indonesia seharusnya dapat memunculkan orang-orang yang dapat menumbuhkan orang sadar untuk mau membaca buku,” ujar Duta Baca Indonesia ini.
(nrl/nrl)

Sumber : Detik.com

@htanzil

[Berita] Memberangus Buku, Lemahkan Budaya Literasi

Tinggalkan komentar

babarengeanOleh Restu Puteri

Bumi Siliwangi, isolapos.com–

Pada Bincang Isola Mei, Unit Pers Mahasiswa Unviersitas Pendidikan Indonesia mengangkat tema tentang “Pelarangan Buku dan Ancaman Dunia Pendidikan”. Maraknya pelarangan bahkan pemberangusan buku ini ditengarai membangkitkan kembali idiologi komunis dan sempat menggemparkan dunia literasi. Buku-buku dan kegiatan akademik seperti teater dan diskusi yang yang dianggap “kiri” diberangus dan dibubarkan.

Sastrawan sekaligus aktivis literasi Bandung Ahda Imran mengatakan pendidikan layaknya seperti taman. Bila ada banyak ragam bunga, maka semua bunga berhak tumbuh disana. Sama halnya dengan kasus ini, ia menuturkan, keberagaman pemikiran dan keyakinan berhak “tumbuh” di Negara ini. Sehingga pemerintah dalam hal ini layaknya seperti pemilik taman yang mengurusi, merawat, dan menjaga semua keberagaman yang ada, pun halnya dengan buku. “Hatta belajar khatam Das Kapital tapi dia bukan komunis. Ini persoalan dengan kita belajar. Pendidikan tidak hanya bisa hadir dengan satu saja macam bunga,” ujarnya saat Bincang Isola di Teater Terbuka Museum Pendidikan Nasional UPI, Jumat (27/5).

Berbeda dengan Ahda, esais Zen Rs menilai pelarangan buku ini tidak berdampak pada dunia pendidikan. Menurutnya, masyarakat saat ini berada ditengah-tengah rezim yang mengutamakan penyamarataan nilai, bukan mengutamakan proses belajar. Maka tak heran, ketika membaca saat ini hanya dijadikan kegiatan temporal saja. ”Itulah sebabnya bimbel lebih penuh sesak daripada taman bacaan. Semuanya tentang jalan pintas,” tuturnya.

Bagi Zen, membaca merupakan proses menguji pemikiran dan keyakinan. Ia menilai tradisi itulah yang belum terbangun dalam bangsa ini. Untuk itu, pemerintah perlu mendukung upaya penguatan lliterasi buku, bukan semakin melarang rakyat untuk membaca buku. “Persoalannya adalah minat baca sudah rendah, apalagi kalau dilarang,” ujarnya mengundang tawa audiens.

Selain Ahda dan Zen, Bincang Isola kali ini pun turut dihadiri oleh berbagai aktivis literasi dan pakar pendidikan dari berbagai daerah seperti Muhidin M Dahlan dari Masyarakat Literasi Yogyakarta, Anton Kurnia dari Aktivis Literasi Jakarta,Rama Prambudhi Dikimara dari Dewantara Institute, dan Pakar Pendidikan UPI Deni Darmawan. []

Sumber : Isolapos.com

@htanzil

PERNYATAAN SIKAP BANDUNG TERHADAP PEMBERANGUSAN BUKU DAN KEBEBASAN BEREKSPRESI

Tinggalkan komentar

pernyataan sikapPERNYATAAN SIKAP BANDUNG

Bagi rakyat Indonesia, Bulan Mei bukan hanya sekadar keterangan waktu. Tetapi juga bermakna sebagai ingatan atas peristiwa penting dalam sejarah pergerakan kebangkitan nasional 1908, juga perubahan besar yang terjadi dengan Reformasi 1998. Dan setiap tahun, tanggal 17 Mei juga ditetapkan sebagai peringatan Hari Buku Nasional. Kebangkitan Nasional 1908, Reformasi 1998, Hari Buku Nasional; ketiganya bermakna sebagai kesatuan menuju budaya demokrasi.

Namun, ironisnya pada bulan Mei 2016 inilah terjadi berbagai peristiwa pemberangusan terhadap dunia literasi dan kebebasan berekspresi. Dengan alasan bangkitnya kembali paham Partai Komunis Indonesia (PKI), aparat kepolisian, militer, dan organisasi massa, secara sewenang-wenang melakukan razia dan memberangus buku-buku yang mereka sebut sebagai buku “Kiri”.

Perbuatan anti kebudayaan ini senyata-nyatanya telah melanggar Keputusan Mahkamah Kontitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010. Keputusan tersebut telah membatalkan UU No.4/PNPS/1963, yang selalu dijadikan dasar bagi kejaksaan dalam pemberedelan buku yang dianggap mengganggu ketertiban umum. Kejaksaan hanya bisa menyita buku dan barang cetakan lain jika telah mendapat izin pengadilan. Maka, mengingat keputusan Mahkamah Keputusan tersebut, aparat kepolisian, militer, terlebih organisani massa, tidak berhak melakukan razia dan memberangus buku.

Selain itu, sejak beberapa bulan terakhir, dengan alasan mencegah kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI), telah terjadi pula berbagai pemberangusan terhadap kebebasan bereskpresi. Intimidasi dan pembubaran diskusi publik, festival seni budaya, pemutaran film, teater, hingga penyerbuan organisasi massa intoleran ke dalam lingkungan kampus.
Tap MPRS No. XXV Th. 1966 tentang larangan penyebaran paham komunisme yang selalu dijadikan dalih, sesungguhnya telah ditinjau ulang melalui Tap MPR No.1 Th. 2003 melalui Pasal 2 angka 1 yang mengamanatkan tetap adanya “Penghormatan pada prinsip-prinsip keadilan, menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak azasi manusia.”

Di Bandung, ini terjadi pada pementasan Monolog Tan Malaka, penangkapan seniman pantomim, dan penyerbuan organisasi massa ke dalam lingkungan kampus Insititut Seni Budaya Indonesia (ISBI). Intimidasi dan pemberangusan kebebasan berekspresi ini tak hanya terjadi di Bandung, tapi juga Jakarta dan Yogjakarta. Terjadi pembiaran aparat kepolisan atas kesewenang-wenangan organisasi massa yang bertindak intoleran tersebut.

Atas nama hak-hak kami sebagai warga negara yang dilindungi kontitusi, maka dengan ini, kami pegiat literasi, seniman, aktivis budaya, dan pelaku komunitas kreatif Kota Bandung menyerukan pernyataan:
1. Mendesak aparat kepolisan dan militer menghentikan intimidasi dan pemberangusan terhadap buku, diskusi buku, dan aktivitas literasi lainnya
2. Mendesak aparat kepolisan dan militer menghentikan pembiaran atas perbuatan organisasi massa intoleran yang mengancam kebebasan bereskpresi
3. Mendesak kesungguhan pemerintah dalam menjalankan kewajibannya melaksanakan UUD, demi mencerdaskan kehidupan bangsa dan budaya demokrasi melalui kehidupan dunia literasi yang sehat, termasuk melindungi hak-hak warga negara dalam kebebasan berekspresi
4. Mendesak para pembesar di jajaran pemerintahan untuk berhenti mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang kontra produktif bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, termasuk bagi kelangsungan budaya demokrasi yang sehat
5. Menyerukan pada para pemangku kepentingan dalam perbukuan nasional (para penulis, penerbit, penerjemah, penyunting, penjual buku, pembaca, pegiat literasi) dan masyarakat luas; bersatu menolak pemberangusan buku dan kebebasan berekspresi.

Tuhan bersama kita!

Bandung, Gedung Indonesia Menggugat, 17 Mei 2016.

Pegilat Literasi, seniman, aktivis budaya, pelaku komitas kreatif Kota Bandung
1. Ahda Imran
2. Hanief Mochammad (Komunitas Gedung Indonesia Menggugat)
3. Bilven Sandalista (Ultimus)
4. Deni (LawangBuku)
5. John Heryanto (LPM Daunjati)
6. Ekalaya Adji (Idea Institute)
7. Sahlan Mustaba ( Main Teater Bandung)
8. Dyaning. P (Media Parahyangan)
9. Robby Darmawan (LPM Suaka)
10. Adrian Dwi (BEM UNLA)
11. Regin WN (BEM FKIP UNLA)
12. Aditya F. Ihsan (ISH Tiang Bendera ITB)
13. Renando Yafi (MG – KSSEP ITB)
14. M. Nata Adhiyaksya (DPM STKS Bandung)
15. Arief Rahman H (Media Mahasiswa Indonesia)
16. M. Syahid Syawahidul Haq (Unit Pers Mahasiswa UPI)
17. Wisnu (Perpustakaan Apresiasi)
18. Indra (Jaringan Buku Alternatif)
19. Kukuh (Lingkar Sastra ITB)
20. Raka (BEM FIB UNPAD)
21. Mujia R. Idris (UKSK UPI)
22. Dasep Sumardjani (Kebun Seni)
23. Sinatrian Lintang R (Lingkar Studi Mahasiswa Telkom University)
24. Zen Rs (panditfootball.com)
25. Harold Wilson (LBH Bandung)
26. Urab (Ultimus)
27. Rinaldi Fitra Riandi (Unpas)
28. M. Rizky A.D (Unpas)
29. Muhammad Taufik (STKIP Pasundan)
30. Ryan R. Akbar (Universitas Telkom)
31. Lenin (Unhan)
32. Firman Hidayah K (STKS Bandung)
33. Egi Budiana (LPM Jumpa Unpas)
34. Muhammad Rushdi (Majalah Ganesha ITB)
35. Rama Prambudhi Dikimara (Dewantara Institute)
36. Isthiqonita (LPM Suaka)
37. Adytia F. Ihsan (KM ITB)
38. Didin Tulus (Ultimus)
39. Adi (AJI Bandung)
40. Iqbal AS Hidayat (Gerakan Aktivis 77/78)
41. M. Habib (LPM Daunjati)
42. Immanuel Deporat (LPM Daunjati)
43. Anton Kurnia (Front Api)
44. Adi Marsela (AJI Bandung)
45. Adam Rahadian Ashari
46. Agung Sedayu
47. Agus Bebeng
48. Ahma Imran
49. Ahmad Fauzan
50. Ahmad Nurcholi
51. Aming Derahman
52. Andar Manik
53. Wisnu Primason (Cikuda Papers)
54. Andika Tazaka
55. Anwar Siswadi
56. Ari Adi Purwawidjana
57. Arif Yogiawan (LBH Bandung)
58. Bob Teguh
59. Budi Yoga Soebandi
60. Budiana Irmawan
61. Dadan Ramdan Harja
62. Deddy Koral
63. Denai Sangdenai Ultimus (Mnemonic)
64. Dwi Amelia
65. Dewi Maulani
66. Doddi Ahmad Fauji
67. Eko Arif Nugroho
68. Faiz Ahsoul
69. Frino Bariarcianur
70. Furqan Amc (Kabar Kampus)
71. Goben Gusmiadi
72. Gusjur Mahesa
73. Gustaf Hariman Iskandar
74. Hari Pochang
75. Hawe Setiawan
76. Heliana Sinaga
77. Hervana HMT
78. Tanzil Hernadi
79. Heri Dia
80. Iman Abda
81. Ipogn Witono
82. Isa Perkasa
83. Kyai Matdon
84. Maman Imanulhaq
85. Mang Dadang
86. Martha Topeng
87. Melia Melie Agustine
88. Mimi Fadmi
89. Mohammad Chandra (LPM Daunjati)
90. Muhammad Firman Eko Putra (Festival Indonesia Menggugat)
91. Muhidin M Dahlan
92. Mukti Muktimukti Mimesissoul
93. Oshi Prisepti Koestatan (Studio Jamus)
94. Pamanku Agus Salim
95. Rifqi Fadhlurrakhman (Festival Indonesia Menggugat)
96. Pradetia Novitri
97. Rahmat Jabaril
98. Reggi Kayong Munggaran
99. Ridwan CH Madris
100. Riyadus Salihin
101. Sahlam Bahuy
102. Sapei Rusin
103. Semi Ikra Anggara (Alumni STSI)
104. Setiaji Purnasatmoko
105. Tisna Sanjaya
106. Ubaidilah Muchtar
107. Wanggi Hoediyatno
108. Wawan Sam
109. Wawan Sofwan (Main Teater Bandung)
110. Wawan WG
111. Wili Hanafi
112. Yopi Setia Umbara
113. Yusef Muldiyana
114. Zaky Yamani
115. Zullfa Nasrullah
116. Fagih R. Purnama (Media Parahyangan)
117. M. Muslim Gifari (Bias Bahasa)
118. Irfan Teguh P. (Pustaka Preanger)
119. Farhad Zamani (Majalah Ganesha ITB)
120. Benny AS (Perpustakaan Antropologi Unpad)
121. Suka Sapi (Ultimus)
122. Doni (Ultimus)
123. Wytny Alia (LMP Jumpa Unpas)
124. Wildan (STHB)
125. Iman (RJ Soang)
126. Fauzan Sazli (Warga Cijerah)
127. Reni Andriani (ISBI)
128. Saepul Mujib (ISBI)
129. Galuh Pangestri Larashati (In The House Project)
130. Fareza HS (Festival Indonesia Menggugat)
131. Sultan (Suas Lorong)
132. Apel Gumilar (Media Parahyangan)
133. Andrenaline Katarsis
134. Ismael Faruki (Majalah Ganesha ITB)
135. Ujang (Front API)
136. Rudiansyah (Front API)
137. Fajar Kelana (Festival Indonesia Menggugat)
138. Edo W Aditiawarma (Festival Indonesia Menggugat)
139. Hanief Mochamad (Festival Indonesia Menggugat)
140. Herdiansyah Suhandi (Festival Indonesia Menggugat)
141. Ghera Nugraha (Festival Indonesia Menggugat)
142. Wisnu Tri (Festival Indonesia Menggugat)
143. Abi Koes (Festival Indonesia Menggugat)
144. An Nisaa Yovani (Festival Indonesia Menggugat)
145. Dani Yulio Putra (Festival Indonesia Menggugat)
146. Annas (Festival Indonesia Menggugat)

Bandung, 17 Mei 2016.

###

@htanzil

Ratusan pecinta literasi Bandung deklarasi tolak pemberangusan buku

Tinggalkan komentar

ratusan pecinta literasi“Bagi rakyat Indonesia, bulan Mei bukan hanya sekadar keterangan waktu,”

kata Ahda, saat membacakan Pernyataan Bandung.

 

Reporter : Iman Herdiana | Selasa, 17 Mei 2016 18:43

Bandung.merdeka.com – Puluhan komunitas literasi Bandung melakukan deklarasi terkait perampasan buku oleh anggota kepolisian dan militer yang akhir-akhir ini marak diberitakan. Deklarasi bernama Pernyataan Bandung ini menolak perampasan dan pemberangusan buku.

Deklarasi dilakukan di Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintis Kemerdekaan, Bandung, bertepatan dengan Peringatan Hari Buku Nasional yang jatuh tiap 17 Mei.

Deklarasi Pernyataan Bandung dibacakan penulis Ahda Imran didampingi Semi Ikranagara yang mewakili institusi pendidikan (Institut Seni Budaya Indonesia/ISBI Bandung) dan Deni Rahman yang mewakili komunitas (Lawang Buku).

“Bagi rakyat Indonesia, bulan Mei bukan hanya sekadar keterangan waktu,” kata Ahda, saat membacakan Pernyataan Bandung, Selasa (17/5).

Bulan Mei, sambung dia, juga bermakna ingatan atas peristiwa penting dalam sejarah pergerakan kebangkitan nasional 1908, juga perubahan besar Reformasi 1998. Lalu setiap tahun 17 Mei juga ditetapkan sebagai peringatan Hari Buku Nasional.

“Kebangkitan Nasional 1908, Reformasi 1998, Hari Buku Nasional ketiganya bermakna sebagai kesatuan menuju budaya demokrasi,” katanya.

Ironisnya, lanjut dia, pada Mei 2016 ini terjadi berbagai peristiwa pemberangusan terhadap dunia literasi dan kebebasan berekspresi. Dengan alasan bangkitnya kembali paham Partai Komunis Indonesia (PKI), aparat kepolisian, militer dan organisasi massa secara sewenang-wenang melakukan razia dan memberangus buku-buku yang mereka sebut sebagai buku ‘Kiri’.

Perbuatan anti kebudayaan tersebut dinilai telah melanggar Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 yang membatalkan Undang-undang No 4/PNPS/1963 yang selalu dijadikan dasar bagi kejaksaan dalam pemberedelan buku yang dianggap mengganggu ketertiban umum.

“Maka mengingat keputusan Mahkamah Konstitusi, aparat kepolisian, militer, terlebih organisasi massa, tidak berhak melakukan razia dan memberangus buku,” katanya.

Selain itu, Tap MPRS No XXV/Th 1966 tentang larangan penyebaran paham komunisme yang selalu dijadikan dalih, telah ditinjau ulang melalui Tap MPR No I/2003 melalui pasal 2 angka I yang mengamanatkan tetap adanya ‘Penghormatan pada prinsip-prinsip keadilan, menghormati hukum, prinsip demokrasi dan HAM’.

Pernyataan Bandung juga menyoroti pemberangusan terhadap kebebasan berekspresi. Di Bandung tercatat, pemberangusan kebebasan berekspresi menimpa pementasan Monolog Teater Tan Malaka, penangkapan seniman pantomim dan penyerbuan organisasi massa ke Kampus ISBI Bandung. Intimidasi dan pemberangusan kebebasan berekspresi ini juga terjadi di Jakarta dan Yogyakarta.

Maka atas nama hak-hak kami sebagai warga negara yang dilindungi konstitusi, dengan ini kami pegiat literasi, seniman, aktivis budaya dan pelaku komunitas kreatif Kota Bandung menyerukan pernyataan:

  1. Mendesak aparat kepolisian dan militer menghentikan intimidasi dan pemberangusan terhadap buku, diskusi buku dan aktivitas literasi lainnya.
  2. Mendesak aparat kepolisian dan militer menghentikan pembiaran atas perbuatan organisasi massa yang mengancam kebebasan berekspresi.
  3. Mendesak kesungguhan pemerintah dalam menjalankan kewajibannya mealsanakan UUD demi mencerdaskan kehidupan bangsa dan budaya demokrasi melalui kehidupan dunia literasi yang sehat, termasuk melindungi hak-hak warga negara dalam kebebasan berekspresi.
  4. Menyerukan pada para pemangku kepentingan dalam perbukuan nasional (para penulis, penerbit, penerjemah, penyunting, penjual buku, pembaca, pegiat literasi) dan masyarakat luas untuk bersatu menolak pemberangusan buku dan kebebasan berekspresi.

Pernyataan Bandung tersebut ditandatangani 146 individu dan kelompok dari kalangan penulis, seniman, komunitas literasi, penerbit, penjual buku, mahasiswa, wartawan, aktivis dan lainnya.

(MT/IH)

38 Tahun Menjaga Kertas Semen Titipan Pramoedya

Tinggalkan komentar

om hwie-1
Oei Hiem Hwie, kawan Pramoedya Ananta Toer semasa diasingkan di Pulau Buru.
Rizky Sekar Afrisia, CNN Indonesia
Sabtu, 30/04/2016 12:22 WIB
Jakarta, CNN Indonesia “Hwie, kamu mau enggak saya titipi?”

Sebaris kalimat tanya seorang kawan itu melayang di benakku dua hari menjelang kepulangan dari sebuah tanah buangan, akhir November 1978. Kawan itu tak sembarangan. Bukan sekadar kawan seperjuangan di pulau pengasingan, Buru. Dia seorang sastrawan, Pramoedya Ananta Toer, namanya.

Pak Pram, begitu aku biasa memanggilnya, menanyakan soalan itu saat aku menemuinya di sebuah komolek tahanan yang kami juluki “Mako” alias Markas Komando, pada suatu ketika berpuluh tahun lalu. Niatku sebenarnya berpamitan. Sebab sejak Desember 1977, kabar pembebasan tahanan politik dari Pulau Buru menjadi kenyataan. Aku sendiri termasuk gelombang ke-dua yang dilepas dari pengasingan.

Jika dihitung, masa tahananku di Buru lebih pendek dari Pak Pram. Aku masuk pada 1970. Setahun lebih lama dari Pak Pram. Pantai Sanleko jadi pendaratan pertamaku di pulau itu.

Bersama ribuan tahanan politik lain, aku dinaikkan kapal Tobelo dari Nusakambangan. “Enak enak, melok o ae [enak, enak, sudah ikut saja],” begitu iming-iming mereka kala itu. Sempat terdengar aku akan dibawa ke Pulau Buru, tapi itu hanya selentingan saja. Aku pun tak tahu ke mana aku akan dibawa. Aku ikut saja.

Dulunya aku seorang wartawan untuk sebuah media bernama Trompet Masjarakat. Aku banyak menulis soal Soekarno. Aku juga tergabung di dalam Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia, organisasi yang disebut-sebut berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia.

Aku ditangkap di Malang, tak lama setelah peristiwa 1965. Pertama, aku dibawa ke bekas pabrik makanan di Batu, Kamp Gapsin. Beberapa bulan di sana, aku dipindah ke kamp tentara di Lowokwaru. Selama lima tahun sebelum dibawa ke Nusakambangan, aku terus “diping-pong” Malang-Surabaya.

Nasibku masih beruntung, tak terlalu banyak dipukul. Wartawan dan mahasiswa yang dianggap kalangan intelektual, memang tidak terlalu disiksa. Yang jelas-jelas anggota PKI, siksaannya tiada ampun. Dipukul, bahkan dibunuh.

om hwie-2
Naskah Pramoedya Ananta Toer yang ditulis di atas kertas semen masih disimpan rapi oleh Oei Hiem Hwie di Perpustakaan Medayu Agung, Surabaya. 
Aku kenal Pak Pram sejak menjadi wartawan. Ketika akhirnya kembali bertemu di Buru, aku tak langsung bertemu muka dengannya. Kami beda unit. Pak Pram di unit 3, aku di unit 4. Hubunganku dengan Pak Pram mulai dengan surat-menyurat. Kutitip pesan surat kepada tapol lain yang kebetulan akan ke unit 3.

Kami baru saling bertemu saat Pak Pram sudah dipindah ke Markas Komando (Mako) karena dinilai punya keterampilan. Tempatku kerja kebetulan dekat dengan Mako. Pak Pram bahkan pernah berkunjung ke barakku, meski sepulangnya dimarahi karena interaksi antartapol dilarang.

Tapi belakangan, aturan itu melonggar. Tapol boleh berkunjung ke “gubuk” Pak Pram di Mako. Kami bahkan pernah berfoto.

Diberi kepercayaan Pak Pram menyimpan naskahnya, suatu kehormatan bagiku. Naskah itu sudah seperti “anakku” sendiri. Aku ikut merawatnya sejak naskah-naskah itu diproduksi di Mako.

Aku pernah menjadi kurir yang menghubungkan Pak Pram dengan tapol-tapol lain yang diajaknya berdiskusi lewat surat. Misalnya, Profesor Saleh Iskandar di Unit 5. Dari dialah Pak Pram mendapat referensi soal fakta-fakta sejarah. Aku juga pernah menemui Hersri Setiawan, Profesor Puradisastra, Sartono, juga Oey Hai Djoen.

Saran-saran dari mereka biasanya aku tulis. Esoknya saat bertemu Pak Pram, kuserahkan tulisan-tulisan itu. Pak Pram terbuka terhadap masukan mereka, memasukkannya sebagai tambahan dalam naskah-naskahnya. Sampai sekarang pun salinannya masih kusimpan rapi.

Aku juga yang menyediakan kertas untuk Pak Pram saat dia masih menulis dengan tangan. Bekas karung semen aku bersihkan dari debu maupun butir-butir semennya, lalu kupotong seukuran folio. Di atas kertas itu Pak Pram menuliskan Bumi Manusia, salah satu dari tetralogi Pulau Buru yang terkenal itu.

Penanya meminjam penjaga yang berhati baik, atau titip kepada tapol yang ke Namlea.

Naskah itulah yang dipercayakan Pak Pram padaku. Kondisinya masih ditulis tangan di atas kertas kecokelatan. Saat dipanggil satu per satu untuk apel di depan barak lalu digiring ke Mako, naskah itu kumasukkan ke dalam besek. Aku harus berhati-hati agar tak kena geledah barang bawaan sebelum pulang.

Besek berisi naskah Pak Pram kumasukkan lagi ke dalam tas plastik yang isinya perlengkapan makan. Sebelumnya, kututup naskah-naskah itu dengan cor semen. Dahulu, cor semen itu bekas penutup septic tank. Salinan naskah Pak Pram terkadang disembunyikan di bawahnya agar tersamar dan tidak kena geledah penjaga.

Naskah tua Pram, juga surat-surat dan harian nasional disimpan rapi oleh Oei Hiem Hwie, kawan Pram di Surabaya, dalam lemari kaca kedap udara. 
 
Naskah yang Hilang
Pernah pada suatu malam yang apes, septic tank lupa ditutup dengan cor semen. Aku saat itu sedang sakit perut dan tidak membantu tapol lain mengetik naskah untuk digandakan. Biasanya, aku yang mendikte dan Paimin seorang tapol dari Tegal yang mengetiknya.

Tapi malam itu berbeda. Di tengah pengetikan, Wakil Komandan Unit masuk dan merampas naskah yang ada. Termasuk Arus Balik, Mata Pusaran, dan Arok Dedes. Paimin, aku, dan Pak Pram kena damprat. Aku pun dipindah kerja dari ladang di dekat Mako, jadi lebih jauh.

Pak Pram sempat marah padaku. Tapi bukan karena naskahnya dirampas. Dia marah justru karena kealpaanku membahayakan tapol lain.

Nasib naskah yang dirampas itu, entah bagaimana. Arus Balik dan Arok Dedes, tapol lain masih punya salinannya dan bisa diterbitkan. Sekarang pun masih bisa dibaca.

Arok Dedes, dititipkan Pak Pram ke seorang pastor yang punya hak untuk tidak digeledah. Naskah itu berhasil dibawa ke Jakarta dan diterbitkan. Tapi Mata Pusaran, entah dikemanakan oleh penjaga setelah dirampas.

Pernah suatu ketika, seorang Belanda menemukan naskah yang bercerita soal masa-masa menjelang jatuhnya Majapahit itu, di pasar rombeng. Tapi hanya sebagian. Dibelilah naskah itu, dibawa ke Pak Pram. Tapi Pak Pram tak bisa meneruskannya. Alhasil, Mata Pusaran pun tak pernah diterbitkan.

Kembali soal cor semen, balok itu juga berfungsi merekatkan kertas naskah Pak Pram setelah dilem sagu. Sekarang di tanganku, cor itu kembali menyamarkan naskah Pak Pram. Naskah dan cor yang beratnya minta ampun itu kubungkus dengan baju-baju kotorku.

Kertas ada di paling bawah. Atasnya cor semen, atasnya lagi rantang dan wadah gula.

Aku deg-degan saat melewati penjagaan. Untung bawaanku tidak digeledah. Naskah itu pun selamat. Selama dua tahun naskah itu kusimpan rapi setelah aku sampai di Malang, Jawa Timur, kota kelahiran yang sudah 13 tahun kutinggalkan sejak “diciduk” aparat.

Pada 1980, aku bertemu Pak Pram di rumahnya di Utan Kayu, Jakarta. Pak Pram sendiri dibebaskan dari Pulau Buru pada 1979. Kuserahkan naskah itu padanya. Tapi Pak Pram berkata, “Jangan dibalikin. Kamu foto kopi saja, saya kamu kasih yang foto kopiannya.”

Sampai sekarang, sudah 38 tahun naskah itu bersamaku. Masih kujaga di ruang kaca kedap udara bersama surat-menyuratku dengan Pak Pram sejak masih di unit masing-masing. Ada pula naskah asli Pak Pram tentang Ensiklopedi Citrawi Indonesia, tulis tangan dan ketikan.

Etalase kaca berkode Z itu tak pernah kubuka agar kualitas kertas tidak rusak terkena udara. Tahun ke tahun memang warnanya jadi kekuningan, bahkan kecokelatan. Tapi kumasukkan juga pengawet agar tahan lama.

Selain naskah asli itu, aku punya rak khusus untuk Pak Pram di Ruang Koleksi Khusus di Perpustakaan Medayu Agung, Surabaya yang kini kukelola. Tetralogi Buru yang kini sudah dicetak berulang-ulang, masih kusimpan edisi perdananya dengan tanda tangan Pak Pram.

Aku juga masih punya buku Nyanyian Sunyi Seorang Bisu, yang berisi catatannya selama di Buru. Buku itu tak banyak beredar lagi sekarang. Naskah Di Atas Lumpur yang tak pernah diterbitkan pun, ada di tanganku.

Pak Pram memang telah meninggal 10 tahun lalu. Tapi karyanya masih abadi, naskahnya masih tersimpan rapi, selama masih ada yang mau mengenang dan mengurusnya. Aku banyak belajar dari naskah-naskah itu.

Seperti Pak Pram pernah berpesan padaku sewaktu di Buru, “Hwie, jangan banyak mikir, nanti kendat [bunuh diri]. Belajar saja.”

Oh ya, aku lupa mengenalkan diri. Namaku: Oei Hiem Hwie. Usiaku 81 tahun. Aku sekarang orang bebas.

***
Sumber :

Older Entries